Menjadi Homo Oeconomicus
08 September 2008
Menjadi Homo Oeconomicus?:
Sebuah Kritik terhadap Kapitalisme
f.wawan setyadi, S.J
“…tidak jelas pula apakah ia suka anjing, memukuli istrinya,
ataukah lebih memilih jepitan daripada puisi.
Kita tidak tahu apa yang ia inginkan.
Namun, kita tahu benar apa pun yang ia inginkan,
ia akan memaksimalkan dengan ganas untuk mendapatkannya.”
(Martin Nell & Martin Hollis, Rational Economic Man)
1. Pendahuluan: Perjalanan Kapitalisme
Dewasa ini, kapitalisme telah menjadi kekuatan besar dan amat tangguh yang telah berkali-kali terbukti dapat meloloskan diri dari lilitan krisis yang menghampirinya. Hal ini memang telah banyak “diramal” dan diakui. Sejak dini hari, Karl Marx, di dalam Manifesto Komunis menyatakan dengan gemilang kemunculan dan arti kapitalisme. Di situ Marx menyampaikan bahwa kapitalisme adalah kekuatan yang revolusioner di dalam masyarakat. Melompat ke masa selanjutnya, R. Gilpin seolah-olah menegaskan lagi apa yang dikatakan Marx dengan menyampaikan kedahsyatan kekuatan pasar yang menarik semua hal ke dalam dirinya dan mengubah pola-pola relasi sosial masyarakat tradisional ke dalam mekanisme harga.
Kapitalisme berjalan bukan tanpa krisis. Satu contoh yang bisa disebut adalah krisis tahun 70-an setelah Kapitalisme mengalami masa kemakmuran pada tahun 1940-1960-an. Terhadap krisis itu, Beaud menyatakan optimismenya bahwa Kapitalisme akan mampu mengadakan mutasi baru, perubahan baru dan mencapai kebutuhan baru. Schumpeter memang mengatakan bahwa kapitalisme memiliki ciri creative destruction. Kebangkrutan karena kalah berkompetisi dengan pedagang lain dapat menjadi satu contoh penghancuran yang terjadi. Namun, para kapitalis akan dengan kreatif mengusahakan jalan-jalan baru yang memungkinkannya muncul kembali dengan lebih baik dalam gelanggang kompetisi. Hal serupa dikatakan Braudel. Dalam kebebasannya untuk memilih dan kelenturannya, kapitalisme dapat bertahan dari krisis. Contoh krisis lain yang terjadi akhir-akhir ini adalah adanya kelebihan produksi dalam dunia kapitalis. Namun, sekali lagi Kapitalisme terselamatkan salah satunya berkat Cina yang dapat menyerap amat banyak investasi. Kapitalisme berjalan terus. Tidak lagi terbatas pada sebuah nation-state, kini bermunculan perusahaan multi-nasional (MNC/TNC). Mereka berperan bukan hanya dalam perdagangan tetapi juga dalam penanaman modal asing di dunia. Saat ini mereka telah menguasai seluruh bidang kehidupan. Mulai muncul juga variasi di dalam Kapitalisme, antara lain Kapitalisme Anglo-Saxon: Inggris dan Amerika Serikat; Kapitalisme Jerman dan Swedia, dan Kapitalisme di Jepang dan Cina.
Perjalanan Kapitalisme sedemikian rupa menunjukkan kedigjayaannya sebagai sebuah sistem ekonomi. Ramalan Marx tentang kehancuran otomatis Kapitalisme yang pada masanya terlihat begitu solid, seakan-akan menguap begitu saja saat ini tanpa pernah memberikan kebenaran empiris. Apakah Kapitalisme memang akan menjadi “akhir sejarah”? Dalam kekaguman dan pertanyaan seperti itulah muncul pertanyaan lain tentang kritik apa yang dapat diberikan kepada Kapitalisme. Apakah Kapitalisme memang sebuah sistem sempurna, tanpa kelemahan dan efek samping? Jawabannya: tidak. Justru tulisan ini hendak menunjukkan sebuah kritik yang bisa diberikan kepada Kapitalisme. Seandainya Kapitalisme memang tidak mungkin hancur karena sebab-sebab dari dalam (endogen) seperti dikatakan Braudel, setidaknya akan disampaikan bahwa sebagai sebuah sistem, Kapitalisme tidak kebal kritik dan memiliki efek samping yang harus diperhatikan.
Setelah pendahuluan, akan dibahas secara singkat beberapa kritik terhadap Kapitalisme yang sudah dilontarkan orang-orang. Setelahnya, tulisan akan memfokuskan diri pada sebuah kritik epistemologis—yang menjalar ke wilayah ontologis (kodrat) terhadap Kapitalisme berupa asumsi manusia ekonomi (homo oeconomicus) yang harus ada di dalam Kapitalisme. Bagian ini akan banyak bersandar pada tulisan B. Herry-Priyono “Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian ke Kenyataan” dalam buku antologi Sesudah Filsafat. Tulisan akan ditutup dengan tanggapan singkat dari penulis.
2. Kritik dari Berbagai Sudut
Kritik pertama adalah soal keterasingan pekerjaan dalam sistem Kapitalis dari Karl Marx. Dengan pengaruh dari Hegel, Marx memandang pekerjaan sebagai tindakan manusia yang paling dasar. Di dalam pekerjaan, manusia membuat dirinya menjadi nyata. Marx mengatakan bahwa dalam pekerjaannya, manusia “mengadakan diri tidak hanya dalam kesadaran intelektual, melainkan dengan berbuat secara nyata, sehingga ia memandang dirinya sendiri dalam dunia yang diciptakannya sendiri.”Pekerjaan menunjukkan bahwa manusia bebas dan universal. Pekerjaan adalah objektivasi manusia. Dengan pekerjaan, manusia mengambil atau mengubah bentuk alami dari sesuatu dan memberikan kepada bentuk alami itu, bentuk yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pekerjaan menunjukkan sifat sosial manusia dan keberadaannya dalam dimensi historis. Ciri-ciri luhur dalam pekerjaan itu menjadi hilang ketika dalam sistem kapitalisme manusia bekerja melulu demi upah agar dia bisa hidup. Buruh bekerja bukan karena ia mencintai pekerjaannya, tetapi karena keharusan; jika tidak, ia tidak bisa hidup. Pekerjaan tidak mengembangkan manusia dan memberikan rasa bangga serta bahagia melainkan mengasingkannya. Beberapa segi keterasingan itu adalah sebagai berikut. Manusia terasing dari dirinya sendiri. Ia terasing juga dari produknya karena hasil kerjanya dimiliki oleh pemilik modal. Manusia terasing dari tindakan kerjanya; kegiatan bekerja kehilangan arti karena hasilnya tidak dimilikinya Manusia juga memiskinkan dirinya karena bekerja hanya untuk upah. Ia tidak mengembangkan dirinya dalam pekerjaan. Manusia terasing dari orang lain. Kelas pekerja akan bertentangan dan terasing dari kelas pemilik modal karena masing-masing memiliki kepentingan yang berlawanan. Di sisi lain, antar buruh juga saling terasing karena bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Pun, sesama pemilik modal akan terasing karena berebut pasar.
Kritik lain yang akhir-akhir sangat gencar muncul adalah dampak dunia Kapitalisme terhadap lingkungan (ekologi), khususnya terkait dengan isu pemanasan global. Al-Gore, pemenang nobel perdamaian 2007, membuat sebuah film dokumenter, An Incovenient Truth, untuk menjelaskan isu tersebut. Peningkatan CO2 yang dilepas ke udara mengakibatkan efek rumah kaca yang akhirnya berdampak pada pemanasan global. Serupa dengan itu, majalah Basis mengangkat isu ekologi di dalam satu edisinya. Di situ banyak dipaparkan kerusakan lingkungan akibat ulah produksi dan konsumsi manusia. Dari situlah mulai muncul pemikiran mengenai perlunya etika lingkungan. Kritik ekologis mengarah pada kritik etis. Manusia dipandang tidak hanya sebagai makhluk sosial—dengan demikian hanya membutuhkan etika yang berhubungan dengan manusia lain—tetapi juga makhluk biologis dan ekologis. Manusia tidak hanya berinteraksi di dalam komunitas sosial, melainkan juga di dalam komunitas biotis dan ekologis. Manusia berhubungan dengan semua kehidupan lain di alam semesta dan keseluruhan alam semesta. Manusia berhubungan timbal-balik dengan mereka semua. Di titik itulah dibutuhkan etika yang bisa mengatur relasi tersebut.Kritik lain yang dapat diberikan kepada Kapitalisme adalah asumsi homo oeconomicus yang ada sejak kemunculan ekonomi sebagai ilmu mandiri dalam karya Adam Smith, The Wealth of Nations. Kritik itu akan dijelaskan secara mendetail, meskipun tetap saja terlalu ringkas, di bawah ini.
3. Persoalan Homo Oeconomicus
Untuk memahami persoalan Manusia Ekonomi, kita perlu menelusuri jejak pemikiran Adam Smith, terutama di dalam buku The Wealth of Nations (WN), 1776 dengan dibantu buku yang ditulisnya sebelumnya, yaitu The Theory of Moral Sentiment (TMS), 1759. Dari sanalah asumsi Manusia Ekonomi lahir dan berkembang. Perlu diketahui juga bahwa penelitian Adam Smith berada di wilayah zamannya yang sedang terpana oleh penemuan prinsip gravitasi Newton. Selain itu, perlu diingat pula bahwa wilayah kajian Smith waktu itu termasuk di dalam Filsafat Moral, meski terbitnya, WN banyak diakui sebagai awal munculnya ilmu Ekonomi secara mandiri.
3.1. Menuju Dalil Gravitasi
Ekonomi Adam Smith amat terpesona oleh prinsip gravitasi Newton. Dari situ, ia hendak mencari sebuah analogi dalil gravitasi Newtonian bagi Filsafat Moral. Pertanyaan awal Smith adalah “mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan?” Jawaban atas persoalan itu terdapat di dalam buku TMS. Di situ, Smith menjelaskan bahwa di dalam berperilaku, orang biasanya memeriksa sifat moral tindakannya dahulu dan menerapkannya pada diri orang lain. Smith membalik pola itu. Menurutnya, orang menilai dulu sifat moral tindakan orang lain dan memakainya untuk menilai dirinya sendiri. Dengan kata lain, kita menaruh diri pada posisi orang lain. Itulah simpati atau rasa-merasa terhadap orang lain. Simpati itulah prinsip gravitasi dalam tatanan moral. Di dalam itu, kontrol diri bisa terjadi karena kinerja ekspektasi berbentuk pujian, kesetujuan dan hormat dari orang lain. Kelayakan tindakan dan sikap berdasarkan ekspektasi dari orang lain dan bukan dari diri sendiri. Dengan itulah tatanan terjadi dan bukan kekacauan.[2
Namun, prinsip itu tidak mampu menjawab mengapa meskipun ada banyak bajingan yang suka melanggar hukum masyarakat, tatanan tetap terjadi dan bukannya kekacauan? Prinsip simpati tidak mampu menjawabnya. Untuk itu, Smith merumuskan hukum gravitasi secara lain di dalam bukunya WN. Dalam WN, prinsip simpati digantikan oleh prinsip yang sekarang disebut “ekonomi”. Secara ringkas, prinsip ekonomi itu tersaji di dalam lima pokok berikut ini. Pertama, dikatakan bahwa setiap orang digerakkan dan mengejar kepentingan diri. Kedua, bila berhenti di situ, orang akan menemukan bahwa kepentingan orang lain berpotensi menggagalkan kepentingan dirinya, padahal tidak seorangpun mampu memenuhi sendiri seluruh kebutuhannya. Maka, tanpa menempatkan diri pada posisi kepentingan orang lain, seseorang tidak akan mampu memenuhi kepentingannya. Ketiga, maka, apa yang disebut Smith sebagai kebutuhan akan kerjasama dan bantuan begitu banyak orang lain, dicapai bukan melalui simpati tetapi melalui antisipasi agar pemenuhan kepentingan diri bisa tercapai di hadapan begitu banyak kemungkinan penggagalannya karena kepentingan diri orang lain. Konflik pemenuhan kepentingan diri itu berakhir menjadi tindakan pertukaran. Keempat, di situlah terjadi tatanan, yaitu konflik kepentingan diri berubah menjadi tindakan pertukaran. Kelima, di dalam pertukaran itu, orang menawarkan sesuatu (supply) yang dibutuhkan orang lain (demand). Interaksi itu akan cenderung menuju keseimbangan (equilibrium).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mungkin kesejahteraan bersama dapat dicapai, bila masing-masing orang mengejar kepentingannya sendiri? Atau, bagaimana tatanan masyarakat bisa dicapai bila masing-masing anggotanya mengejar kepentingan diri? Untuk menjawabnya, Adam Smith memaparkan teori “Tangan Tidak Kelihatan” (The Invisible Hand).
3.2. Teori Tangan Tidak Kelihatan
Tangan Tidak Kelihatan adalah metafor Smith untuk menunjuk bagaimana tatanan sosial yang ditandai kebaikan umum muncul sebagai hasil tidak disengaja dari gerak pengejaran kepentingan diri setiap orang. Jadi, dengan demikian, kesejahteraan bersama tidak diraih secara sengaja, melainkan sebagai hasil tidak sengaja dari pengejaran kepentingan pribadi. Secara lebih detil, Tangan Tidak Kelihatan terdiri dari tiga lapis argumen sebagai berikut.
Pertama, tindakan manusia sering menghasilkan gejala/dampak yang tidak diperkirakan, dimaksudkan, atau disengaja oleh pelakunya. Kedua, dari keseluruhan gejala/dampak yang terjadi tanpa disengaja itu terbentuk tatanan yang masuk akal dan seolah-olah merupakan hasil kecerdikan desain seorang/para perancang agung. Ketiga, keseluruhan tatanan yang terbentuk dari berbagai gejala/dampak yang tidak disengaja itu adalah ‘baik’ dan ‘bermanfaat’ bagi orang-orang yang hidup dalam tatanan itu; maka tatanan itu diinginkan meskipun tidak disengaja.
Dengan tiga lapis argumen di atas, tampak bahwa Tangan Tidak Kelihatan bisa menciptakan kesejahteraan bersama, bonum publicum. Namun, bila dilihat secara lebih teliti, Tangan Tidak Kelihatan bisa juga menuntun kepada situasi publik yang ganas dan tidak baik, malum publicum. Dua situasi berikut ini bisa dijadikan contoh. Jika seseorang ngopi di Starbuck bersama rekan-rekannya, ia membayar harga kopi itu di kasir, dengan tujuan hanya untuk membayar. Namun, tindakan itu membuat si kasir tetap dipekerjakan. Tentu orang tersebut tidak memiliki maksud agar kasir tetap dipekerjakan ketika ia tadi membayar cappuccino yang dipesannya.
Situasi yang lain dapat berlangsung demikian. Seseorang ingin memiliki villa di Puncak. Tujuannya adalah memiliki rumah istirahat dan memperoleh tambahan pemasukan (laba) dari orang-orang yang akan menyewa villanya. Untuk tujuan itu, ia perlu menyuap Pemda setempat agar memperoleh izin. Akibat yang muncul dari situ adalah ketidakseimbangan ekologi. Resapan air berkurang dan hal itu mendukung banjir di Jakarta. Tentu orang itu tidak bermaksud memberikan banjir pada Jakarta.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa usaha pengejaran kepentingan diri tidak serta-merta berujung pada kesejahteraan bersama. Malahan bisa sebaliknya. Kepastian kepentingan diri dengan Tangan Tidak Kelihatan di dalamnya sebagai dalil tatanan moral masyarakat seperti halnya Newton tidak terjadi. Hal itu malahan menjadi jalan bagi penciptaan Manusia Ekonomi.
3.3. Menjadi Homo Oeconomicus
Di dalam WN, tatanan masyarakat terjadi berkat adanya pengejaran kepentingan pribadi. Hal ini menyiratkan sebuah asumsi antropologis, yaitu bahwa manusia dipandang sebagai Manusia Ekonomi. Pandangan epistomologis manusia sebagai manusia ekonomi ini perlu dilakukan agar terjadinya tatanan tidak didasarkan pada asumsi manusia sebagai homo sympathicus sebagaimana diungkapkan Smith pada buku terdahulu, TMS. Manusia ekonomi yang digerakkan oleh pengejaran kepentingan diri tidak bisa tidak harus menjadi syarat cara berpikir bila hendak menjelaskan tatanan masyarakat. Pada level ini terlihat juga bahwa Manusia Ekonomi masih menjadi asumsi epistemologis dan belum merayap ke wilayah ontologis (realitas kodrati) manusia.
Lebih lanjut, apakah ciri-ciri dari Manusia Ekonomi itu? Selain kutipan di awal tulisan ini yang dapat menjadi ilustrasi tajam tentangnya, berikut ini dipaparkan empat ciri pokok Manusia Ekonomi. Pertama, kepentingan diri (self interest) menjadi penggerak utama tindakannya. Kedua, ia memiliki keterpusatan diri. Tindakannya berlangsung dengan fokus pada konsekuensi bagi dirinya sendiri. Ketiga, ia memiliki perangkat amat penting untuk mencapai kepentingan diri dan preferensi akibat keterpusatan diri, yaitu kalkulasi rasional. Di situ rasionalitas digunakan secara sistematis untuk memilih ketepatan sarana yang selalu terbatas berhadapan dengan tujuan tertentu. Di situ rasionalitas identik dengan efisiensi. Keempat, untuk menemukan keterukuran, konsep kepentingan diri dan efisiensi mengerucut ke dalam konsep utilitas. Konsep utilitas itu makin lama makin mengerucut pula ke dalam perolehan untung material atau finansial. Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana asumsi epistemologis Manusia Ekonomi tersebut perlahan-lahan berubah menjadi realitas ontologis manusia? Jawabannya terletak pada kekhasan antara “pemikiran” dan “objek pemikiran” dalam ilmu-ilmu sosial, termasuk ekonomi.
Herry-Priyono mengutip pendapat ekonom Stefano Zamagni bahwa berbeda dari perumusan teori dalam ilmu alam yang tidak akan mengubah jalannya proses gejala alam, dalam ilmu ekonomi, sebuah ramalan bahwa dua tahun lagi akan terjadi boom dapat menyebabkan overproduction yang pada gilirannya menyebabkan resesi. Hal seperti ini, dikatakan Giddens sebagai hermeneutic ganda, yaitu adanya arus timbal balik antara praktik sosial yang dilakukan khalayak dan wacana ilmiah yang dibuat para ilmuwan sosial, berbeda dengan “hermeneutika tunggal” dalam ilmu alam. Dengan demikian, Manusia Ekonomi yang awalnya tidak lebih dari sekedar asumsi epistemologis perlahan-perlahan menjadi semacam realitas faktual dan pembentukannya terus-menerus dikejar.
Seperti disebutkan Stefano dan Giddens, berbeda dari gejala alam, dalam pembentukan Manusia Ekonomi, upaya konfirmasi dan falsifikasi menjadi bagian tak terpisahkan yang akan memberi kemungkinan dan ketidakmungkinan terjadinya Manusia Ekonomi. Semakin seseorang memberi afirmasi atas kemungkinan Manusia Ekonomi, semakin Manusia Ekonomi itu terbentuk. Di tempat lain, Polanyi menyatakan bahwa konsep Manusia Ekonomi adalah self-fulfilling prophecy. Dia mengatakan bahwa sampai zaman Adam Smith, ciri-ciri Manusia Ekonomi masih jarang ditemukan. Namun, seratus tahun kemudian, ciri-ciri Manusia Ekonomi terdapat di belakang seluruh kegiatan ekonomi, untuk tidak mengatakan juga di balik kegiatan politis, intelektual dan spiritual.
4. Tanggapan Singkat
Dari uraian ringkas di atas jelas terlihat bagaimana sejak awal kemunculannya sebagai ilmu yang mandiri, ekonomi telah membawa asumsi epistemologis yang perlahan-lahan menjadi realitas kodrati manusia, yaitu manusia sebagai Manusia Ekonomi. Adam Smith, dalam keterpesonaannya kepada dalil gravitasi Newton, ingin berbuat yang sama untuk menjelaskan bagaimana tatanan dalam masyarakat terjadi. Usahanya terwujud dalam temuannya bahwa manusia digerakkan oleh kepentingan diri; Tangan Tidak Kelihatan akan menuntun gerakan itu menuju kesejahteraan bersama, kebaikan bersama. Namun, dari prinsip yang sama terlihat bahwa keganasan publik juga bisa terjadi. Prinsip itu ternyata mengandung asumsi epistemis bahwa manusia harus menjadi Manusia Ekonomi. Makin lama, asumsi epistemis itu berubah menjadi realitas kodrati manusia melalui afirmasi terus-menerus.
Di dalam dunia Kapitalisme saat ini, di dunia ketika institusi ekonomi begitu berkuasa sampai seringkali institusi politik pun keok di hadapannya; di dunia ketika kalkulasi ekonomi begitu menguasai segi-segi kehidupan, afirmasi Manusia Ekonomi terus terjadi. Para pengikut neoliberal, para fundamentalis pasar dapat menjadi contoh pihak-pihak yang terus mengafirmasi Manusia Ekonomi. Keterasingan dalam pekerjaan dan kerusakan ekologi seperti disebutkan di atas, tentu saja terkait dengan prinsip kepentingan diri Manusia Ekonomi seperti telah dijelaskan di atas. Kerusakan alam, pemanasan global, terkait pula dengan asumsi epistemis dan ontologis manusia sebagai Manusia Ekonomi.
Lalu, bagaimanakah saat ini? Bagaimana kemungkinan menidak pada Manusia Ekonomi bisa terjadi? Apakah manusia perlu mengembalikan Manusia Ekonomi ke rahim ibunya, mengembalikan Ilmu Ekonomi ke Filsafat Moral? Menurut hemat saya, hal itu tidak perlu (tidak bisa) dilakukan. Justru, sebaliknya, Filsafat Moral harus terus menemani perjalanan Manusia Ekonomi dalam dunia Kapitalisme saat ini. Di titik itulah, kritik etis seperti diungkapkan Sony Keraf menjadi penting. ***
Daftar Pustaka:
Beaud, M. “Lompatan Kapitalisme Jauh ke Depan (1945-1980), dalam Dawam Rahardjo (ed.), Kapitalisme, Dulu dan Sekarang, Jakarta: LP3ES, 1987.
Braudel, F., “Dapatkah Kapitalisme Bertahan?” dalam Dawam Rahardjo (ed.), Kapitalisme, Dulu dan Sekarang, Jakarta: LP3ES, 1987.
Gilpin, R. The Political Economy of International Relations, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1987.
Gore, Al. An Incovenient Truth. DVD. Paramaount Pictures, 2006.
_______. Bumi dalam Keseimbangan. Ekologi dan Semangat Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Herry-Priyono, B., “Homo Oeconomicus: Dari Pengandaian Ke Kenyataan”, dalam I. Wibowo dan B. Herry Priyono (eds.), Sesudah Filsafat. Esai-esai Untuk Franz Magnis-Suseno, Jogjakarta: Kanisius, 2006.
_______________, “Adam Smith dan Munculnya Ekonomi: Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial”, dalam Diskursus, vol. 6, no. 1, April 2007.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Wibowo, I. Belajar dari Cina. Bagaimana Cina Merebut Peluang di Era Globalisasi. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006.
________. “Sejarah Globalisasi dan Korporasi,” dalam Wacana, edisi 19, th. VI, 2005.